Senin, 21 Maret 2011

burung raksasa


Fosil burung bangau rakasa atau marabu ditemukan di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Unggas besar yang bisa mencapai tinggi sampai 180 cm itu, diduga bisa mampu memburu dan memangsa anak-anak manusia kecil atau hobit (homo florensiensis) yang juga fosilnya ditemukan di pulau itu, kata para periset yang menemukan fosil tersebut.

Tetapi tidak ada bukti langsung yang menunjukkan burung raksasa itu memburu hobit.

Spesies manusia kerdil ini dikatakan bersaudara dekat dengan manusia modern.

Penemuan yang dilaporkan di Jurnal Margasata Masyarakat Linnean, juga menjelaskan bagaimana satwa liar praserajah beradaptasi dengan kehidupan di gugus kepulauan.

Spesies baru bangau raksasa yang bernama leptoptilos robustus ini tingginya 1,8 meter dengan berat sampai 16 kg menurut perkiraan para periset. Ini berarti burung itu lebih tinggi dan lebih berat dari spesies bangau yang ada sekarang.

Pakar ilmu fosil (palaentologi) Hanneke Meijer dari Museum Nasional Sejarah Alam di Washington DC, yang berafiliasi dengan Museum Nasional Sejarah Alam di Leiden, Belanda, membuat temuan ini bersama koleganya Dr Rokus Due dari Pusat Arkeologi Nasional di Jakarta.

Mereka menemukan serpihan empat tulang kaki yang telah menjadi fosil di gua Liang Bua di pulau Flores.

Tulang-tulang yang diduga milik seekor marabu itu berusia antara 20.000 sampao 50.000 tahun, karena ditemukan di endapan yang berusia sekitar itu.

Bangau raksasa ini merupakan spesies terbaru berukuran ekstrem yang ditemukan di pulau yang juga pernah dihuni gajah kecil, tikus raksasa dan reptil besar.

"Saya melihat tulang-tulang marabu raksasa pertama kali di Jakarta, ketika tampak menjulang sendiri di antara tulang-tulang burung lain yang lebih kecil. Penemuan burung besar sudah lumrah di pulau-pulau, namun saya tidak menduga akan menemukan burung bangau raksasa," kara Dr Meijer kepada BBC.

Untuk sayap burung itu, hanya serpihan tulangnya yang ditemukan, tetapi para periset menduga bangau raksasa ini jarang terbang.

Panjang dan beratnya tulang kaki itu, dan ketebalan tulang itu sendiri, menunjukkan marabu yang sekarang sudah punah itu sangat berat sehingga lebih banyak usianya dihabiskan di darat.

Banyak spesies di pulau Flores yang berubah menjadi raksasa atau menjadi kerdil.

Fenomena ini disebut "faktor pulau", dan diduga ini terjadi karena sedikit mamalia pemangsa yang ada di Flores. Ini membuat spesies burung besar menjadi kecil, dan pemangsa (predator) lain menjadi besar.

"Mamalia besar seperti gajah dan primata menunjukkan penyusutan ukuran, sedangkan mamalia kecil seperti tikus dan burung berubah menjadi besar," kata Dr Meijer menjelaskan.


Penemuan kerangka burung laut purba di Chili utara memberikan bukti bahwa burung raksasa yang mengarungi angkasa sudah ada 5-10 juta tahun yang lalu. Tulang-tulang sayap hewan ini memiliki panjang yang melampaui semua burung lain; memiliki lebar sayap yang terbuka setidaknya 5,2 meter (17 ft). Ini secara meyakinkan ditetapkan sebagai lebar sayap terbesar bagi burung. Sedangkan perkiraan yang lebih besar untuk fosil burung yang lain masih didasarkan pada banyak bukti yang kurang pasti.
Burung ini masuk dalam kelompok yang dikenal sebagai pelagornithids, secara informal disebut sebagai burung tulang-bergigi. Mereka dicirikan oleh panjangnya, paruh ramping yang dipenuhi banyak duri, proyeksi seperti gigi. ‘Gigi’-nya kemungkinan besar digunakan untuk menangkap mangsa licin di laut terbuka, seperti ikan dan cumi-cumi.

Berdasarkan rekonstruksi artis, P. chilensis lebih menyerupai burung albatros modern - kecuali tingginya yang sekitar 4 kaki (1,25 meter). (Credit: Artwork by Carlos Anzures)

Rekonstruksi artis menunjukkan P. chilensis akan tampak seperti dalam penerbangan jika dilihat dari atas. (Credit: Artwork by Carlos Anzures)
“Akan mendebarkan jika burung dengan sayap lebih dari lima meter dan bergigi besar masih hidup,” kata Dr Gerald Mayr dari Senckenberg Forschungsinstitut di Jerman, penulis utama studi ini.
Fosil burung tulang-bergigi ditemukan di semua benua, tetapi tetap seperti biasanya terpisah-pisah. Hal ini karena kebanyakan burung memiliki tulang rapuh yang sering tidak bertahan dalam proses fosilisasi. Hanya sebagian kerangka tunggal dari burung tulang-bergigi yang diketahui sebelum penemuan spesimen Chili ini, dan itu pun sudah sangat hancur. Spesimen baru, yang 70% lengkap dan tidak rusak ini, menyediakan informasi baru yang penting tentang ukuran dan anatomi burung asing ini. Ini merupakan burung tulang-bergigi terbesar yang pernah ditemukan sejauh ini. Ini juga merupakan spesies baru, dinamai berdasarkan negara asalnya: Pelagornis chilensis.

Fosil rahang tengkorak P. chilensis, 'gigi'-nya yang kokoh dan tajam kemungkinan besar digunakan untuk menangkap mangsa licin di laut terbuka, seperti ikan dan cumi-cumi.
“Meskipun hewan ini tampak seperti makhluk dari Jurassic Park, mereka adalah burung sejati, dan wakil terakhir mereka mungkin telah hidup berdampingan dengan manusia paling awal di Afrika Utara,” kata Mayr.
Pengetahuan tentang ukuran maksimum yang dapat dicapai melalui burung terbang adalah penting untuk memahami fisik di balik bagaimana burung-burung bisa terbang. Dengan demikian, fosil baru ini dapat membantu para ilmuwan lebih menghargai kendala fisik dan anatomi pada burung yang sangat besar.
“Spesimen ini sangat meningkatkan pengetahuan kita tentang penampilan salah satu hewan yang paling spektakuler dan menakjubkan yang melintasi langit,” kata co-author studi, Dr David Rubilar dari Museo Nacional de Historia Natural, Chile.
Rekonstruksi kerangka tersebut akan di pamerkan di Museum Senckenberg di Frankfurt am Main, Jerman.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShoutMix chat widget

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes